Monday 16 July 2012

Suatu ketika

Suatu ketika dulu, cinta pernah hadir dan menyentuh. Menceriakan hari, membuatnya jauh lebih berwarna dan berkesan, membuat setiap hembusan napas begitu berarti, membuat setiap tapak langkah berkesan dan mengubah segala ketidak-an menjadi keiya-an. 

Suatu ketika dulu, diri mu adalah seseorang yang begitu ku puja. Segala lakon mu, adalah baik di mata ku, segala kata mu, adalah penawar lelah, kau adalah segalanya. Suara mu, laksana nyanyian alam yang merdu, Pembawaan mu laksana aliran air yang tenang, dan senyum mu, tidak akan pernah aku lupakan, laksana lengkungan pelangi sehabis hujan. Sungguh, tidak hanya paras mu yang terpuji, namun segala tutur kata, langkah kaki dan semua tentang mu, adalah kelegaan dalam hidup ku, kesenangan dalam menjalani hari ku. Kau adalah matahari, begitu hangat, begitu menyinari hidupku. 

Namun, tidak pernah sekalipun berbayang, jika suatu ketika matahari yang hangat ini, tak ubahnya hanya bongkahan gunung es yang tidak bergeming. Begitu kokoh, begitu dingin. Hingga segala upaya ku kerahkan, hingga air mata ini menganak sungai, hingga raungan ini berdesing peluru, tidak juga kau meluluh. Tetap berdiri kokoh, dan hening, dan dingin, seakan takkan ada mentari yang sanggup mencairkannya. 

Aku lelah berkubang dalam darah mengalir dari lubuk hati ku yang tidak kunjung berhenti. 
Aku lelah menganak sungai. 
Kau, matahari ku, tidak akan pernah menghangat lagi. 

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Saat ini, cinta tak ubahnya hanya sebuah kata. Tidak lagi mewarnai, tidak lagi mengesankan. 
dan kau, senantiasa mendingin tanpa henti
dan aku, melangkahkan kaki tertatih, dengan tetes darah yang masih juga mengalir, berharap akan segera berhenti, dan sembuh.

0 Comments: