"Mulai dari hari ini, ada baiknya, kita berhenti berhubungan, berhenti jadi sahabat, atau apapun itu.."
Vincent menatap Elisa begitu sangsi dan hampir tidak percaya "Ada apa?" tanya nya sangsi
"Kita jangan jadi sahabat lagi, Vin.." ucap Elisa dan memalingkan wajah.
"Kamu tau El, aku ngak suka kamu bicara dan ngak menatap ku, seperti aku ngak dihargai.."
"Kita bukan apa-apa, buat apa aku harus menatap mu?" ucap Elisa dingin. Elisa memang harus segera mengakhiri semua ini.
"Tatap aku, El.. Aku tahu kamu lagi bohong dan ini semua lelucon.."
Elisa mulai sebal menghadapi Vincent, Elisa ingin ini semua segera berakhir, supaya Elisa bisa melanjutkan hidupnya. "Vincent Sanjaya. Tolong, kali ini kamu benar-benar harus menolong ku, kita berhenti berteman, jangan kontak aku, aku hapus contact BBM mu, dan jangan pernah add aku lagi, kalo bertemu, anggap kita tidak pernah kenal.. Aku bosan harus selalu jadi baik di hadapanmu, mulai sekarang, kita akhiri segalanya.."
Vincent terperangah, namun tetap menatap mata Elisa, berusaha mencari kebenaran di kata-kata Elisa.
"Mengertilah, Vin.. Kita punya dunia yang berbeda, dunia ku, adalah dunia yang kamu ngak akan pernah bisa mengerti, dan setiap saat aku harus terus berharap, dan berharap kamu akan singgah sekejap di dunia ku, namun sungguh, aku lelah. Kita berhenti di sini ya.." Elisa meletakkan selembar tisu yang sudah lecek di hadapan Vincent, dan berdiri meninggalkannya.
Vincent masih begitu syok dan perlahan meraih tisu itu. Membuka lipatan nya yang mulai lecek, "I'll promise you, that One day, I will share everything to you, just wait to the right time.." Sejenak Vincent mengerutkan kening nya, pertanda bingung, namun detik selanjutnya, dia memukul kepalanya dengan kedua tangannya, akhirnya Vincent sadar, dirinya adalah satu-satunya orang bodoh yang tersisa di muka bumi ini, padahal selama ini, dia menganggap, Elisa yang terbodoh, dan bisa dibodohi.
* * *
Seorang wanita berusia 22 tahun yang masih mempertahankan gaya remaja nya melangkah gontai memasuki sebuah cafe dan mulai mencari spot yang nyaman untuk dia dan Lucky, laptop kesayangannya. Setelah menemukan yang dia cari, wanita itu langsung menyalakan Lucky. Sembari menunggu laptop nya benar-benar siap, dia meng order secangkir kopi tubruk, kopi yang sangat disukai nya, yang sejujur nya menyimpan berjuta memori. Wanita itu menoleh ke arah Blackberry nya berada, dan mendapati bahwa wallpaper nya tidak pernah berganti sejak 1 tahun yang lalu. Seakan tidak pernah ingin melepaskan kenangan itu, wanita tadi mengangkat Blackberry nya, dan menatap wallpaper nya, sembari mengusap nya perlahan.
"Saengil Chukahamnida, Vincent!"
dan Vincent tersenyum lebar.
"One photoshoot? Give me your very very handsome faceee..."
Click!
Wanita itu meletakkan kembali Blackberry nya dan menghalau pergi memori nya.
"Selamat pagi Ibu Elisa, ini kopi tubruk nya, Have a nice day, mamm.."
Elisa tersenyum kepada salah satu pegawai nya yang begitu ramah dan selalu menggoda nya setiap pagi.
Iya, Vinza Cafe, adalah cafe milik Elisa Hamidja yang dirintisnya, dua bulan setelah wisuda kelulusan nya, dan sekarang, cafe ini menjadi satu dari sekian tempat tongkrongan yang recommended bagi para mahasiswa yang berkuliah di mantan universitas nya dulu. Cafe ini memang berdomisili tepat di depan universitas nya, karena memang seperti inilah mimpi nya dan ... Vincent dulu.
Vincent Sanjaya. Mengingat nama itu membuat Elisa sedih. Bukan saja karena dia tidak memiliki satu pun foto wisuda bersama Vincent, tapi karena laki-laki itu sama sekali tidak melakukan apa pun untuk mempertahankan persahabatan mereka. Setiap saat Elisa menunggu Vincent meng add kembali contact BBM nya. Setiap saat Elisa menunggu Vincent akan menghampiri nya untuk mengakhiri perang dingin mereka, namun Elisa cukup berbesar hati, karena semua itu hanya mimpi, satu tahun terakhir di perkuliahannya dia tidak lagi mengenal Vincent, bahkan dia menutup mata, telinga dan mulut nya atas semua yang berkaitan dengan Vincent.
Bagi Elisa, diri nya adalah satu dari sekian orang yang beruntung untuk bisa mengenal Vincent, Vincent yang populer dan yang dikagumi banyak orang, sedang Elisa, hanya si bodoh yang percaya pada hal-hal kecil, termasuk Vincent. Elisa jadi dirinya sendiri, bahkan jadi hal paling konyol dan bodoh sekali pun, tapi dia selalu bisa mendapatkan tawa Vincent, tidak hanya senyum, tapi juga tawa, oleh karena itu, meski harus selalu nampak bodoh dan lugu, Elisa mau, asal tetap bisa membuat Vincent bahagia. Persahabatan mereka tumbuh, mereka saling berbagi, meski Vincent tidak sepolos Elisa yang gampang menumpahkan uneg-unegnya, dan selalu ceria, namun Elisa maklum, dan berharap suatu saat, Vincent akan melakukan apa yang selama ini dia lakukan, berbagi dan menganggap Elisa sahabatnya.'
* * *
"Ini El.."
Jamaica menyodorkan sesuatu ke hadapan ku.
Aku melirik nya sebagai sesuatu yang berbentuk persegi panjang, tipis, berwarna pink dengan pita silver. INVITATION. Aku mengambil nya, dan membuka pita tersebut. THE WEDDING, Vincent Sanjaya and Jennifer Albiela. Aku menutup nya kembali dan meletakkannya ke atas meja.
"Vincent tau aku masih hidup?"
Jamaica tertawa. "Kamu memang bodoh, El.. Bagaimana mungkin Vincent mengira kamu sudah mati.. Ya jelaslah dia tahu kalo kamu masih hidup.."
"Dia sama sekali ngak pernah menghubungi aku.." ucap Elisa serius
Tawa Jamaica menghilang. "Apa kamu pernah mencoba menghubungi dia?"
Elisa menggeleng. "Tapi aku berusaha untuk cari tahu kalo Vincent masih hidup.."
"Dengan cara?"
Elisa menatap Jamaica. "Jam, aku datang ke kebaktian yang sama setiap minggu nya dengan kebaktian yang dihadiri Vincent dan Jen, tapi dia tidak pernah sadar aku di sana.."
"Dia tahu kamu di sana, El.. Dia menunggu kamu mengakhiri perang ini, dan sebentar lagi perang kalian akan berakhir.."
Tepat saat itu, lonceng penanda ada pengunjung masuk di cafe nya berdenting. Sosok jangkung dengan rambut berdiri nya berjalan perlahan menuju meja Elisa dan Jamaica.
"Elisa Hamidja.."
Dan, tanpa menoleh pun, Elisa tahu siapa yang memanggil nya.
"Aku harap, kalian akhiri perang dingin kalian sekarang.. Ini sudah setaun, dan ayo damai lah.. Aku tinggal, Vin, El.." dan Jamaica pun berlalu, digantikan Vincent yang duduk di hadapan Elisa sekarang.
"Aku berharap, kamu masih mau datang ke perkawinan aku, El.."
Elisa diam saja.
"Aku butuh doa restu dari kamu, El.."
Elisa masih tetap diam.
"Kalo kamu mengira aku melupakan mu, kamu salah, El.. Selama ini, tidak pernah sekali pun aku melupakan mu, nama mu masih selalu terselip di setiap doa pagi dan malam ku, El.. Bahkan, meski aku akan segera menikah dengan Jen, aku tidak pernah mengganti wallpaper Blackberry ku dengan foto lain.. Ini masih foto mu.." Vincent menyodorkan Blackberry nya ke hadapan Elisa yang menunduk menatap meja.
Elisa mengedip tak percaya dan mengangkat kepala nya.
"Kamu pasti ingin bertanya kenapa? Itu semua karena kamu adalah bagian berharga dari hidup ku, yang tidak bisa digantikan oleh orang lain, El. Sekalipun itu Jennifer.."
"Happy Wedding, Vin.. Kamu akan liat aku di pemberkatan mu.." ucap Elisa, tawar. Dia sama sekali tidak bisa menganalisa apa yang sedang terjadi pada hati nya, pasca penuturan mengejutkan dari Vincent.
"Hari terakhir contact BBM mu masih ada di tempat ku, kamu menulis status Promises that never be fulfilled.. Aku memang berjanji untuk menceritakan segalanya pada mu, dan aku memang selalu menunggu waktu yang tepat, saat itu, aku cuma mau bilang, aku mencintaimu, El.. Tapi aku lengah, dan Jennifer terlanjur datang dan mengacaukan segalanya.. Dia menghasut kita, dan kamu begitu mempercayai nya, dan mempertaruhkan, tidak hanya persahabatan kita, tapi juga perasaan kita, El.. Aku tidak pernah menyalahkan mu, aku hanya merasa bodoh, karena tidak pernah berusaha memperbaiki nya.. Maafkan aku, El.."
Elisa menyentuh tangan Vincent dan tersenyum. "Aku pergi saat itu, karena aku sadar bahwa aku tidak mungkin bersama mu, Vin.. Terlalu banyak perbedaan di antara kita.. dan aku sadar, bahwa Jen adalah satu-satu nya yang cocok untuk mu, dan aku, selama nya bahagia menjadi saudara mu.. Hari ini pun, aku masih mencintai mu.." Elisa menunjukkan Blackberry nya. "Nama mu juga terucap di doa ku, namun aku sadar bahwa kita tidak ditakdirkan untuk bersama.. Bahkan Tuhan sendiri membisikkan nya pada ku.."
Vincent senang melihat senyum Elisa.
"Apakah perang kita berakhir?"
"Aku akan datang ke pernikahan mu, Vin.."
* * *
"Vincent merasa, begitu mudahnya membodohi mu, El.. Karena kamu lugu dan mudah diperdaya.. Vincent hanya menggunakan mu sebagai obat penawar kepahitan hidup nya.. Lewat tingkah-tingkah bodoh mu, Vincent tertawa, namun coba kau pikir sendiri.. Apakah semua tawa nya itu tulus? Vincent ndak mungkin bersama mu, El.. Pahamilah.. Tinggalkan Vincent, biarkan dia bahagia bersama ku, aku tahu, kamu hanya ingin Vincent bahagia bukan?"
0 Comments:
Post a Comment